Oleh:
Alfin Khaeruddin Puad
(Pojok Cikunten, 14 Oktober 2009)
Alfin Khaeruddin Puad
(Pojok Cikunten, 14 Oktober 2009)
Tawakkal merupakan suatu proses bagaimana manusia dapat mengikatkan hatinya kepada Allah Swt. dari segala urusannya. Pekerjaan, usaha dan hasilnya merupakan suatu rangkaian kehidupan yang tidak mungkin lepas dari aktifitas manusia sehari-hari. Apakah berusaha untuk mencari suatu pekerjaan ataukah berusaha meningkatkan hasil dari suatu pekerjaan yang lebih utama?. Keduanya sama-sama harus dijadikan prioritas utama dalam pelaksanaannya, karena boleh jadi hasil maksimal suatu pekerjaan seseorang tergantung pada usaha yang dilakukan orang tersebut, dengan kata lain semakin banyak usaha yang dilakukan seseorang maka akan semakin banyak pula peluang hasil yang akan diperolehnya, begitu pula sebaliknya semakin sedikit usaha yang dilakukan seseorang maka peluang hasil yang akan diperolehnya pun akan sebatas usahanya.
Pernyataan di atas dapat dibenarkan dan dapat pula disalahkan, karena dalam kenyataannya asumsi itu tidak mutlak benar dan tidak mutlak salah. Kadang kala dengan usaha yang biasa-biasa saja, seseorang dapat memperoleh hasil yang lebih dari cukup, begitu pula tidak sedikit orang yang semaksimal mungkin berusaha tapi hasilnya malah mengecawakan. Melihat kenyataan di atas, dimanakah solusi yang seharusnya dijadikan standar prioritas oleh manusia dalam menjalankan proses hidup dan kehidupannya?. Dalam hal ini peran akal yang terdapat pada diri manusia sedikitpun tidak dapat menerima misteri hidup dan kehidupan yang sebenarnya. Hal ini pula yang lambat laun akan mengantarkan manusia kepada keadaan yang memperlihatkan betapa labilnya jiwa manusia atau lebih dikenal dengan sebutan putus asa. Di benak mereka tidak ada lagi secercah harapan yang dapat merubah keaadaannya menjadi manusia utuh yang mampu memfungsikan semua organ yang ada dalam tubuhnya dengan baik.
Manusia hanya mampu merencanakan dan berusaha memperoleh sesuatu tapi Tuhan yang menentukan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan manusia sangatlah terbatas baik oleh ruang maupun oleh waktu, kenyataan ini menambah keyakinan kita bahwa ada Dzat yang maha Mampu untuk melakuakn semuanya dan kebanyakan manusia belum menyadari sehingga mereka mudah putus asa. Padahal, mudah putus asa itu menunjukkan bahwa seseorang belum berhak disebut manusia, dimana manusia itu seharusnya tegar dan selalu siaga menghadapi cobaan yang datang kapanpun dan dimanapun ia berada. Karena pada hakikatnya setiap cobaan baik yang berwujud kesenangan maupun yang berwujud kesedihan datang dari Tuhan dan pasti membuahkan pelajaran. Manusia jangan pernah menyalahkan Tuhan, tetapi seharusnya sadar diri mengapa hal itu terjadi dan dimana letak kesalahannya sehingga mengakibatkan hal itu?. Dengan sikap seperti ini, manusia akan senantiasa bersabar dan bersyukur dikala menghadapi cobaan. Sikap itulah yang sebenarnya menjadi bukti nyata bahwa manusia merupakan hamba Tuhan.
Lika liku yang menyertai hidup dan kehidupan manusia sagatlah beragam, mulai dari godaan, cobaan maupun anugerah. Kehati-hatian untuk menentukan sikap sangatlah penting, karena sifat baik dan buruk akan selalu mewarnai jiwa manusia kapanpun dan dimanapun ia berada. Kadang kala kemauan dan kemampuan yang dimiliki manusia tidaklah menemukan titik keseimbangan, padahal jikalau kita bersikap bijak, tentu akan mendahulukan kemampuan daripada mengejar-ngejar kemauan yang belum tentu tercapai. Manusia sadar bahwa dirinya dicipta Tuhan dengan sebaik-baik penciptaan, namun hal ini seolah-olah membuat terlena dan terus terbuai oleh segala kelebihan yang diberikan Tuhan kepadanya. Tidak jarang manusia lupa daratan (lali kana purwadaksina), sehingga Tuhan pun tidak segan-segan memutar balikkan posisinya dari yang semula mulia menjadi hina sehina-hinanya. Ketahuilah bahwa garis pembatas antara baik dan buruk sangatlah tipis. Semua adalah pilihan yang masing-masing memiliki konsekuensi logis. Baik buruknya pilihan sikap manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan sedikitpun tidak akan pernah mempengaruhi kemuliaan Tuhan.
Keberadaan manusia di dunia ini “Lain palid ku cikiih lain datang ku cileuncang”, artinya tekad dan tujuan hidupnya harus jelas. Kejelasan tujuan akan menentukan kemana manusia harus melangkah, tentunya hal ini akan meminimalisir segala macam rintangan yang pada dasarnya muncul dari ketidak jelasan tujuan hidup. Yakinilah bahwa tekad (niat) baik kita akan menentukan hasil yang baik pula. Jika kita menanam cabai tentunya dikala panen akan memetik cabai, ini membuktikan bahwa apa yang kita tanamkan dalam diri kita kemudian dipupuk oleh rasa tanggung jawab dan penuh kepasrahan kepada Tuhan dikala menjalaninya pasti akan menghasilkan buahnya sesuai apa yang kita harapkan. Tawakkal kepada Tuhan dalam menjalani hidup dan kehidupan bukan berarti melupakan proses yang menyertainya, namun kerja keras dan ketabahan kitalah yang memiliki andil besar dalam menentukan sebuah tujuan. Teringat sebuah pribahasa sunda yang memiliki makna filosofis tinggi, yaitu: “Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih”. Artinya manusia harus sesantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dan kehidupannya.
Sikap malas, perasaan cemas, khawatir, sedih, takut, tidak percaya diri, putus asa, akan selalu mewarnai usaha manusia, ini merupakan penyakit bawaan yang lambat laun akan menghilangkan cahaya Tuhan dalam diri manusia. Jikalau manusia sudah tidak dinaungi cahaya Tuhan, maka malapetakalah yang akan menjadi sahabatnya. Padahal malapetaka terbesar pada diri manusia adalah hilangnya semangat dan kemauan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Tuhan sendiri telah menegaskan dalam firmannya Q.S. al-Syu’ara (26): 80 “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”. Maksudnya semua penyakit yang terdapat dalam diri manusia akan hilang dengan sendirinya tatkala manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya senantiasa merasa diawasi oleh Tuhan, dan ini merupakan kunci utama dari sebuah kehidupan manusia. Akhirnya sesulit dan seberat apapun usaha kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini, niscaya tidak akan pernah dianggap berat andaikata kepasrahan diri kepada Tuhan telah tertanam. Itulah “Dihin pinasti anyar pinanggih”, artinya apapun yang terjadi semuanya berjalan atas kehendak Tuhan.
Pernyataan di atas dapat dibenarkan dan dapat pula disalahkan, karena dalam kenyataannya asumsi itu tidak mutlak benar dan tidak mutlak salah. Kadang kala dengan usaha yang biasa-biasa saja, seseorang dapat memperoleh hasil yang lebih dari cukup, begitu pula tidak sedikit orang yang semaksimal mungkin berusaha tapi hasilnya malah mengecawakan. Melihat kenyataan di atas, dimanakah solusi yang seharusnya dijadikan standar prioritas oleh manusia dalam menjalankan proses hidup dan kehidupannya?. Dalam hal ini peran akal yang terdapat pada diri manusia sedikitpun tidak dapat menerima misteri hidup dan kehidupan yang sebenarnya. Hal ini pula yang lambat laun akan mengantarkan manusia kepada keadaan yang memperlihatkan betapa labilnya jiwa manusia atau lebih dikenal dengan sebutan putus asa. Di benak mereka tidak ada lagi secercah harapan yang dapat merubah keaadaannya menjadi manusia utuh yang mampu memfungsikan semua organ yang ada dalam tubuhnya dengan baik.
Manusia hanya mampu merencanakan dan berusaha memperoleh sesuatu tapi Tuhan yang menentukan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan manusia sangatlah terbatas baik oleh ruang maupun oleh waktu, kenyataan ini menambah keyakinan kita bahwa ada Dzat yang maha Mampu untuk melakuakn semuanya dan kebanyakan manusia belum menyadari sehingga mereka mudah putus asa. Padahal, mudah putus asa itu menunjukkan bahwa seseorang belum berhak disebut manusia, dimana manusia itu seharusnya tegar dan selalu siaga menghadapi cobaan yang datang kapanpun dan dimanapun ia berada. Karena pada hakikatnya setiap cobaan baik yang berwujud kesenangan maupun yang berwujud kesedihan datang dari Tuhan dan pasti membuahkan pelajaran. Manusia jangan pernah menyalahkan Tuhan, tetapi seharusnya sadar diri mengapa hal itu terjadi dan dimana letak kesalahannya sehingga mengakibatkan hal itu?. Dengan sikap seperti ini, manusia akan senantiasa bersabar dan bersyukur dikala menghadapi cobaan. Sikap itulah yang sebenarnya menjadi bukti nyata bahwa manusia merupakan hamba Tuhan.
Lika liku yang menyertai hidup dan kehidupan manusia sagatlah beragam, mulai dari godaan, cobaan maupun anugerah. Kehati-hatian untuk menentukan sikap sangatlah penting, karena sifat baik dan buruk akan selalu mewarnai jiwa manusia kapanpun dan dimanapun ia berada. Kadang kala kemauan dan kemampuan yang dimiliki manusia tidaklah menemukan titik keseimbangan, padahal jikalau kita bersikap bijak, tentu akan mendahulukan kemampuan daripada mengejar-ngejar kemauan yang belum tentu tercapai. Manusia sadar bahwa dirinya dicipta Tuhan dengan sebaik-baik penciptaan, namun hal ini seolah-olah membuat terlena dan terus terbuai oleh segala kelebihan yang diberikan Tuhan kepadanya. Tidak jarang manusia lupa daratan (lali kana purwadaksina), sehingga Tuhan pun tidak segan-segan memutar balikkan posisinya dari yang semula mulia menjadi hina sehina-hinanya. Ketahuilah bahwa garis pembatas antara baik dan buruk sangatlah tipis. Semua adalah pilihan yang masing-masing memiliki konsekuensi logis. Baik buruknya pilihan sikap manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan sedikitpun tidak akan pernah mempengaruhi kemuliaan Tuhan.
Keberadaan manusia di dunia ini “Lain palid ku cikiih lain datang ku cileuncang”, artinya tekad dan tujuan hidupnya harus jelas. Kejelasan tujuan akan menentukan kemana manusia harus melangkah, tentunya hal ini akan meminimalisir segala macam rintangan yang pada dasarnya muncul dari ketidak jelasan tujuan hidup. Yakinilah bahwa tekad (niat) baik kita akan menentukan hasil yang baik pula. Jika kita menanam cabai tentunya dikala panen akan memetik cabai, ini membuktikan bahwa apa yang kita tanamkan dalam diri kita kemudian dipupuk oleh rasa tanggung jawab dan penuh kepasrahan kepada Tuhan dikala menjalaninya pasti akan menghasilkan buahnya sesuai apa yang kita harapkan. Tawakkal kepada Tuhan dalam menjalani hidup dan kehidupan bukan berarti melupakan proses yang menyertainya, namun kerja keras dan ketabahan kitalah yang memiliki andil besar dalam menentukan sebuah tujuan. Teringat sebuah pribahasa sunda yang memiliki makna filosofis tinggi, yaitu: “Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih”. Artinya manusia harus sesantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dan kehidupannya.
Sikap malas, perasaan cemas, khawatir, sedih, takut, tidak percaya diri, putus asa, akan selalu mewarnai usaha manusia, ini merupakan penyakit bawaan yang lambat laun akan menghilangkan cahaya Tuhan dalam diri manusia. Jikalau manusia sudah tidak dinaungi cahaya Tuhan, maka malapetakalah yang akan menjadi sahabatnya. Padahal malapetaka terbesar pada diri manusia adalah hilangnya semangat dan kemauan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Tuhan sendiri telah menegaskan dalam firmannya Q.S. al-Syu’ara (26): 80 “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”. Maksudnya semua penyakit yang terdapat dalam diri manusia akan hilang dengan sendirinya tatkala manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya senantiasa merasa diawasi oleh Tuhan, dan ini merupakan kunci utama dari sebuah kehidupan manusia. Akhirnya sesulit dan seberat apapun usaha kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini, niscaya tidak akan pernah dianggap berat andaikata kepasrahan diri kepada Tuhan telah tertanam. Itulah “Dihin pinasti anyar pinanggih”, artinya apapun yang terjadi semuanya berjalan atas kehendak Tuhan.
Alfin Khaeruddin Puad, sampai tulisan ini diluncurkan masih nyantri di pondok "KEHIDUPAN".
No comments:
Post a Comment