Monday 16 August 2010

Merdeka dari Belenggu Nafsu

Oleh:

ALFIN KHAERUDDIN PUAD
(Sisi Cikunten, 16 Agustus 2010)

Sungguh tidak terasa, 65 tahun sudah proklamasi kemerdekaan RI didengungkan oleh para pendahulu kita. Namun, apakah waktu yang tidak sebentar ini sudah mampu menginspirasi masyarakat untuk bisa berkarya dalam membangun dan mengembangkan dirinya, bangsa dan agamanya?. Atau justru masyarakat hanya mampu untuk mengenang jasa-jasa para pendahulunya sehingga tidak berani untuk mencoba berpikir kreatif dan melakukan terobosan-terobosan inovatif.

Peringatan HUT RI yang ke-65 di tahun 2010 ini sungguh merupakan anugerah Allah SWT yang teramat istimewa karena bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1431 H. Bulan yang penuh dengan kemesraan dan kehangatan untuk senantiasa "bercumbu" dengan-Nya lebih dekat. Moment untuk berupaya dan berusaha dalam memerdekakan diri dari belenggu nafsu pun penulis rasa sangat tepat untuk diangkat dalam sebuah wacana. Dengan kata lain, membumikan nilai-nilai puasa dalam pola hidup bermasyarakat merupakan harga mati yang sulit untuk ditawar lagi.



Potret Diri Manusia

Apabila menelusuri ayat-ayat al-Qur'an, kita akan menemukan manusia dengan sebutan Bani Adam sebanyak tujuh kali. Raghib al-Asfahany memaknai kata Bani sebagai keturunan yang dilahirkan. Dalam penjelasan ayat-ayat yang mengandung istilah Bani Adam, manusia diingatkan oleh Allah agar tidak tergoda oleh Syetan (Q.S. Al-A'raf: 26-27), mencegah makan dan minum yang berlebih-lebihan dan tata cara berpakaian yang pantas saat melaksanakan ibadah (Q.S. Al-A'raf: 31), anjuran bertaqwa dan mengadakan perbaikan (Q.S. Al-A'raf: 35), kesaksian manusia terhadap Tuhannya (Q.S. Al-A'raf: 172), dan peringatan agar manusia tidak terpedaya hingga menyembah Syetan (Q.S. Yasin: 60).

Membaca ulang ayat-ayat yang menggunakan kata Bani Adam, sepertinya kita diingatkan kembali kepada peran Nabi Adam saat pertama kali diciptakan. Ketika Nabi Adam akan diciptakan, para Malaikat mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan, dengan hadirnya manusia akan menjadi biang keladi kerusakan dan pertumpahan darah (Q.S. Al-Baqarah: 30). Hal ini menjadi nyata ketika Adam dan Hawa karena kekeliruannya, terjebak oleh hasutan Syetan sehingga oleh Allah keduanya dihukum dengan dikeluarkan dari surga (Q.S. Al-Baqarah: 30).


Setelah melihat dan merenungkan latar belakang kemunculan kata Bani Adam ini, tampaknya mengindikasikan bahwa manusia sebagai Bani Adam dalam menjalani proses hidup dan kehidupannya akan selalu bermasalah. Permasalahan ini muncul karena Bani Adam memiliki peluang untuk selalu digoda oleh Syetan. Untuk itu, Allah SWT dalam banyak ayat selalu mengingatkan kepada manusia agar berhati-hati terhadap godaan Syetan. Hal ini juga yang menunjukkan bahwa manusia dituntut untuk menjaga kemuliaan dirinya.


Merdeka dari belenggu nafsu akan mengantarkan manusia menjadi generasi terbaik dalam panggung peradaban dan sekaligus mengidentifikasikan bahwa manusia berbeda dengan binatang. Sehingga manusia yang menjalani hidupnya masih mengikuti hawa nafsu akan dan bisa lebih kejam dari binatang. Mampu mengendalikan nafsu merupakan cerminan baiknya aqidah yang diyakini dan ibadah yang diamalkan seseorang. Sebaliknya, apabila seseorang masih mengikui hawa nafsu dalam segala tindak tanduknya berarti ada indikasi buruk dari aqidah dan ibadahnya. Padahal mengendalikan diri dari hawa nafsu juga merupakan buah dari ibadah dalam hal ini ibadah puasa.


Hawa nafsu yang masih membelenggu akan tercermin dalam fenomena masyarakat seperti: saling menyalahkan, pungli, upaya pemutarbalikkan fakta, legalisasi perilaku menyimpang, pengrusakan lingkungan secara sengaja, dan dugaan korupsi – kolusi – nepotisme yang dilakukan manusia yang mengaku beragama. Semua ini didasari atas dorongan ketamakan akan kekuasaan, kerakusan akan harta dan keserakahan untuk mencari kemuliaan sendiri dengan cara menyalahgunakan kekuasaan.



Jangan Abaikan Nurani

Manusia pribadi terdiri dari kesatuan unsur cipta (akal), rasa dan karsa. Unsur cipta (akal) meliputi; pengamatan, ingatan, dan pikiran. Unsur rasa terdiri dari perasaan jasmani yang meliputi; sakit, enak, lapar, kenyang, dan perasaan rohani meliputi; perasaan keindahan, kesusilaan, keagamaan, sosial, harga diri, dan keilmuan. Adapun unsur karsa terdiri dari kemauan, cita-cita, keinginan, refleks, instink dan sebagainya.

Fungsi manusia terhadap diri pribadinya adalah memenuhi kebutuhan unsur-unsur tersebut secara menyeluruh. Namun dalam memenuhinya, harus dijaga jangan sampai terjadi saling bertentangan satu dengan lainnya. Karena pertentangan yang terjadi dalam diri pribadi manusia akan mengakibatkan stress, labil, dan tidak tenang. Apabila semua ini terjadi, maka manusia akan mencoba mencari jalan keluar untuk mengobati dirinya, dan kadang-kadang obat alternatifnya tidak sesuai dengan norma-norma agama (mengikuti hawa nafsu).


Mengikuti "suara hati", baik yang digambarkan dalam al-Qur'an dengan istilah qalb, fu`ad, lubb, sirr, ataupun `aql, merupakan solusi terbaik dalam mengendalikan keinginan nafsu karena semuanya berhubungan dengan kesadaran. Hati (qalb), yang memiliki potensi bolak-balik dan seringkali tidak konsisten: kadangkala merasa senang – susah, menerima – menolak membutuhkan cahaya Ilahi. Oleh karena itu disebut "hati nurani" atau hati yang bercahaya.


Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa hati merupakan acuan yang harus dikembangkan dalam pencapaian kehidupan rohani manusia. Bahkan ia menafsirkan hati sebagai esensi dari kemanusiaan itu sendiri, sehingga apabila hati nurani terus ditegakkan, maka kaca hati akan mencerminkan kecemerlangan, dan dengan demikian terbukalah sifat-sifat langit, kemudian terpantullah akhlak Allah.


Melalui dzikir kepada Allah, senantiasa memikirkan ciptaan-Nya, dan terhiasinya sifat-sifat positif dari akhlak-Nya, maka suara hati ini (kesadaran moral) pun mencapai apa yang dalam agama disebut “jiwa yang tenang” (nafs al-muthmainnah) yang membuka pintu bagi kedekatan kepada Allah. Sehingga hati menjadi tempat untuk mengingat Allah, yang akhirnya hati ini menjadi cahaya Allah.


Semoga peringatan HUT RI ke-65 di tahun ini yang bertepatan dengan datangnya bulan suci Ramadhan menjadi moment tepat untuk bersama sama memerdekakan diri pribadi dari belenggu nafsu yang terus mencengkram kehidupan rakyat Indonesia. Disamping dapat memunculkan optimisme dan sadar diri untuk terus belajar menghadapi setiap ujian dan cobaan yang datang silih berganti. Hanya dengan jalan itulah barangkali kita akan mampu keluar dari kesulitan.

Friday 6 August 2010

MERDEKA DALAM BAYANG-BAYANG PENJAJAH

Oleh:

ALFIN KHAERUDDIN PUAD
(Pojok Cikunten, 08 Agustus 2010)


65 tahun sudah proklamasi kemerdekaan didengungkan oleh para pendahulu kita. Pada setiap tahunnya Hari Kemerdekaan ini selalu diperingati bahkan ditetapkan sebagai salah satu hari besar nasional. Namun permasalahannya adalah, apakah waktu yang relatif lama ini sudah mampu menginspirasi masyarakat untuk bisa berkarya dalam membangun dan mengembangkan dirinya, bangsa dan agamanya?. Atau justru masyarakat masih terlena dan hanya mampu untuk mengenang jasa-jasa para pendahulunya sedemikian rupa sehingga tidak berani untuk mencoba berpikir kreatif dan melakukan terobosan-terobosan yang inovatif.

Belum hilang rasa sakit ketika bangsa ini dijajah selama 3,5 abad oleh Belanda, kemudian disiksa oleh Jepang selama 3,5 tahun. Setelah merdeka rakyat Indonesia masih dikekang oleh kebijakan pemerintahan yang oleh sebagian orang dianggap "otoriter" selama puluhan tahun. Setelah bebas dari kekangan pemerintah ternyata bangsa Indonesia masih dijajah oleh kepentingan diri sendiri, terjelma dalam sikap gampang emosi, destruktif – anarkis, dan senang berselisih dengan saudara sendiri.

Jasa-jasa para pendahulu yang telah mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan ternyata belum mampu dibalas dengan mewujudkan keadaan masyarakat yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana dicita-citakan dalam pembukaan UUD 1945.

Akar Masalah
Mengikat keanekaragaman masyarakat Indonesia dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sekedar contoh; apabila seorang penganut agama Islam menyempitkan makna Islam hanya untuk orang muslimin saja, membatasi dalam kerjasama dan persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat, merasa kelompoknya yang paling benar dan berhak masuk sorga dan menganggap kelompok lainnya salah, akan mengganggu keharmonisan kehidupan bernegara.

Pandangan ekslusif terhadap negara Pancasila pun akan menjadi tantangan bagi terwujudnya cita-cita kemerdekaan versi UUD 1945. Betapa tidak, meskipun ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi kalau secara formal tidak dicantumkan berlakunya syariat Islam tetap dianggap sebagai negara sekuler, lawan dari negara theokrasi. Padahal akan lebih sekuler kalau tidak menempatkan Islam sebagai rahmatan lil alamin, kaffatan li al-nas, agama untuk semua manusia tanpa pandang etnis atau agama yang memperlihatkan bahwa Islam itu agama yang membawa nikmat berupa salam (perdamaian), rahmat (kasih sayang) dan barakah (pemanfaatan maksimal).


Dengan demikian, keanekaragaman penafsiran dalam menilai negara Pancasila berimplikasi terhadap pengamalan sila-silanya. Sikap ber-Ketuhanan belum mampu menciptakan manusia Indonesia yang dapat berlaku adil dan beradab. Rasa ber-Ketuhanan yang tidak total juga dapat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, menjadikan kebijakan penguasa yang kadangkala merugikan sebelah pihak, bahkan tidak bisa mewujudkan keadilan sosial secara merata.


Padahal, hidup di bawah aturan Tuhan akan membawa kita jauh dari sikap fanatik apalagi ekstrim. Karena, sikap ber-Ketuhanan (iman) berarti kontradiktif dengan sikap memaksa. Keimanan justru menumbuhkan sikap adil. Dengan kata lain, sikap ber-Ketuhanan (iman) melahirkan sikap yang selalu menyediakan ruang bagi pertimbangan akal sehat untuk membuat penilaian secara jujur bagi setiap permasalahan. Sikap ini penting untuk ditanam dan dipupuk kemudian dikembangkan dalam menyikapi kondisi plural sebuah bangsa. Sehingga hubungan dialogis, baik antar umat beragama maupun sesama umat dalam agama yang sama, bisa berjalan dengan baik.


Tindakan Nyata
Paling tidak ada tiga aspek yang merupakan anugerah Allah Swt. yang harus dibangun dan dikembangkan oleh manusia dalam rangka mengisi kemerdekaan diri, yaitu; tubuh, pikiran dan jiwa. Ketiga aspek inilah yang hemat penulis akan menentukan siap tidaknya manusia menghadapi segala macam rintangan hidup dan kehidupannya.

Pertama, tubuh. Sebelum dibentuk dan dikembangkan, terlebih dahulu tubuh harus dibersihkan. Cara membersihkannya adalah dengan memperhatikan kehalalan dan kandungan gizi dari makanan, minuman dan oksigen tersebut yang masuk ke dalam tubuh, tentunya dengan mementingkan polanya yang teratur. Hal ini sangat penting, karena dalam ajaran agama pun ditegaskan bahwa apa yang masuk ke dalam tubuh seseorang akan berimplikasi terhadap perilaku orang tersebut. Dengan kata lain, jika makanan atau minuman yang dikonsumsi itu jelek baik dari jenisnya maupun cara memperolehnya, maka perilakunya pun akan jelek pula.


Kedua, pikiran. Sebelum dibentuk dan dikembangkan, pikiran harus dibersihkan. Cara membersihkannya adalah dengan senantiasa berfikir dan berzdikir. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam Q.S. Ali Imran (30): 190-191. Berdzikir dengan kata lain selalu menggunakan kalimat positif dalam setiap kesempatan dan senantiasa berfikir tentang ciptaan Tuhan merupakan modal utama bagi manusia untuk memunculkan gagasan cemerlang, ide kreatif, dan terobosan inovatif.


Bisa dibayangkan kalau setiap orang di negeri ini dalam waktu satu menit melakukan satu hal positif (kebaikan) saja, maka dalam waktu satu hari apabila digabungkan akan meninvestasi sekitar 300 milyar kebaikan, dan ini sangat luar biasa. Harapannya, kalau hal ini benar-benar dilakukan akan dapat meminimalisir krisis sosial yang sedang terjadi saat ini. Hal terpenting dari kebiasaan berdzikir dan berpikir (memunculkan gagasan cemerlang, kreatif dan inovatif) akan membawa manusia untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan.


Ketiga, jiwa. Sebelum dibentuk dan dikembangkan, jiwa harus dibersihkan dari segala bentuk kesombongan dan kemalasan yang telah lama diwariskan syetan. Dalam hal ini, manusia harusnya mampu menangkap pesan Tuhan melalui rangkaian bencana berupa keterpurukan sosial yang dialami bangsa kita saat ini. Walaupun bencana merupakan bagian dari ketetapan Tuhan (Q.S. At-Taubah: 51), namun tidak berlebihan apabila memahami bencana sebagai bahasa teguran Tuhan pada manusia yang “lupa”.


Dalil teologis ini harusnya dimengerti oleh masyarakat supaya jangan sampai rangkaian malapetaka itu mengesankan negeri ini penuh dengan pelupa. Berlaku sombong dengan sengaja melupakan dan bermalas-malasan dengan enggan memikirkan langkah lanjut agar bencana serupa tidak terulang harus benar-benar disingkirkan dari jiwa masayarakat Indonesia.


Jika salah satu sebab musibah adalah kelalaian manusia, tentunya kita didorong untuk mencari tahu bagaimana agar malapetaka serupa tidak terulang lagi di masa depan. Setiap musibah, bencana atau kecelakaan yang terjadi harusnya memotivasi kita untuk mau belajar dari apa yang sedang atau telah terjadi, guna mendapat terang bagi apa yang kita lakukan selanjutnya.


Semoga peringatan HUT RI ke-65 di tahun ini tidak membuat rakyat Indonesia berkecil hati, melainkan mendorongnya untuk “sadar diri” dan terus belajar demi menghindari kemungkinan datangnya musibah atau bencana serupa di masa depan. Hanya dengan jalan itulah barangkali kita akan mampu keluar dari kesulitan.


•Penulis selalu ingin belajar dan berkarya.

Haura Hikmah Muta'aaliyah

Add caption Haura Hikmah Muta'aaliyah  (Kado Terindah Bagi Kami) oleh: Alfin Khaeruddin Puad Haura Hikmah Muta'...