Sunday, 18 October 2009

Perumpamaan Orang yang Bersedekah

Oleh:
Alfin Khaeruddin Puad

Al-Qur’an membuat perumpamaan bagi orang yang bersedekah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Hal ini karena begitu banyaknya pahala yang diterima oleh orang yang bersedekah. Perumpamaan mereka telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya Q.S al-Baqarah (2): 261-265. Redaksi ayatnya merupakan perintah kepada orang yang beriman agar terdorong hatinya untuk bersedekah di jalan Allah. Maka pertama dibuatlah perumpamaan yang mengesankan pelipat gandaan ganjaran sedekah disisi Allah: “satu sampai tujuh ratus kali lipat”, kadang-kadang ditambah lagi dengan izin-Nya. Kedua, perumpamaan dibuat untuk menegaskan larangan bersedekah yang didasari oleh sifat riya atau tidak karena Allah, melarang bersedekah dengan menyebut-nyebut serta menyakiti si penerima. Kemudian menyuruh menyedekahkan harta yang bersih dan menentukan kepada siapa harta itu diberikan.

Keseluruhan ayat di atas menurut ‘Allamah al-Tabataba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an Juz II halaman 387, mengajak untuk bersedekah dengan syarat sebagai berikut: Pertama, tujuannya semata-mata karena Allah bukan karena manusia. Kedua, sedekahnya tidak disertai dengan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan si penerima. Ketiga, harta yang disedekahkan harus bersih. Keempat, objek yang dijadikan sasaran pemberian sedekah adalah orang-orang miskin yang membutuhkan harta untuk digunakan di jalan Allah. Kelima, hartanya dijadikan salah satu jalan untuk memperoleh keutamaan baik di dunia maupun di akhirat.

Sedekah merupakan salah satu amalan yang paling agung dan penting dalam Islam. Mengeluarkannya menjadi wajib jika bentuknya sebagai zakat fitrah, kifarat harta dan fidyah. Namun ada juga yang kedudukannya hanya berupa anjuran seperti waqaf, wasiyat dan hibah. Sedekah dapat menjadikan pelakunya sadar akan keberadaan saudara mereka yang sangat membutuhkan uluran tangannya karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini akan menjadi dorongan bagi pelaku sedekah untuk selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Lebih jauhnya pelaku sedekah akan menghindari sikap berlebih-lebihan dalam menggunakan hartanya.

Di masa sekarang, menjadi semakin jelas bahwa ketidak perdulian kaum kaya terhadap penderitaan kaum miskin merupakan bahaya besar yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat dan kaum kaya itu sendiri yang akan menjadi korban ancaman ini. Empat belas abad yang lalu, Islam talah mengantisipasi bahaya ini dan memerintahkan kaum kaya untuk memberikan sebagian hartanya kepada kaum miskin setiap tahun. Hal ini akan dinilai sebagai sebuah kebaikan jika harta yang diberikannya itu merupakan harta yang sangat kita sayangi. Tentunya disamping untuk menghilangkan beban kebutuhan kaum miskin, perbuatan ini pun dikerjakan semata-mata demi mencapai keridhaan Allah Swt. Firman dalam Q.S. Ali Imran (3): 92 yang artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Ketentraman hati dan perasaan ingin selalu meningkatkan kualitas hidup akan mengiringi langkah orang yang sedekah. Ini terjadi karena al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa esensi agama adalah meningkatkan derajat manusia agar menjadi mulia dalam kehidupannya. Ketersusunan al-Qur’an menjadi cermin kebahagiaan manusia yang senantiasa berprilaku dengan akhlak mulia, hidup tentram mensyukuri nikmat Allah serta menjauhkan diri dari segala macam sifat tercela.

Sedekah di jalan Allah adalah sedekah yang dikerjakan semata-mata mengharap ridha Allah. Keadaan ini digambarkan seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Ini merupakan makna zahir yang memberikan pengertian tidak berlakunya perumpamaan tersebut bagi mereka yang mengeluarkan sedekah tidak di jalan Allah. Pada hakikatnya perumpamaan itu merupakan cerita nyata atau suatu ketetapan yang terlihat samar, namun karena digambarkan oleh jalan lain, maka jiwa seseorang mendapatkan kemudahan dalam hal memahami maknanya secara sempurna. Allah membuat perumpamaan semata-mata untuk menunjukkan kreatifitas-Nya dalam merangkai ungkapan yang tersebar dalam al-Qur’an. Perumpamaan orang yang sedekah dalam Q.S. al-Baqarah (2): 261 merupakan sebuah ketentuan mutlak Allah yang dituangkan dengan ungkapan penuh imajinasi.

Sedekah merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial, membantu orang yang sedang membutuhkan, menolong fakir miskin dan sekaligus menghilangkan sifat rakus, egois dan materialistis yang bercokol di dalam jiwa. Tentu saja sedekah yang dilakukan itu harus didasari keikhlasan tanpa mengharapkan imbalan apapun, juga harapan-harapan lain yang disandarkan kepada selain Allah. Manusia harus meyakini bahwa karunia Allah itu Maha Luas dan banyak, lebih banyak daripada makhluk-Nya, sehingga pelipat gandaan pahala sedekah bagi yang dikehendaki-Nya walaupun sampai 700 lipat tidak berarti apa-apa bagi-Nya. Pelipat gandaan pahala merupakan tujuan akhir yang ditunjukkan oleh ayat ini, maksudnya ungkapannya mempunyai tujuan untuk sebuah pembenaran.

Allah Swt. memuji orang-orang yang menyedekahkan hartanya di jalan Allah, lalu tidak mengiringi kebaikan dan sedekah yang telah mereka berikan itu dengan menyebut-nyebut pemberian mereka, tidak mengatakannya kepada siapapun dan tidak mengungkit-ungkit baik dengan perkataan maupun perbuatan. Allah menjanjikan jaminan pahala mengenai apa yang telah diperbuatnya. Tidak ada kekhawatiran atas mereka dalam menghadapi berbagai macam bencana pada hari kiamat dan tidak pula mersedih hati atas kemilaunya kehidupan dunia yang mereka tinggalkan.

Pada ayat selanjutnya yakni Q.S al-Baqarah (2): 264, Allah memberikan perumpamaan sedekahnya orang riya yang tampak seperti bersedekah karena Allah padahal dia bermaksud meraih pujian orang serta tujuan-tujuan duniawi lainnya. Perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah kemudian batu itu ditimpa hujan lebat lalu menjadilah ia bersih, halus dan kering tidak tersisa tanah sedikitpun di atasnya. Demikian pula halnya dengan amal-amal orang riya, semuanya lenyap di sisi Allah, walaupun tampak oleh dirinya sebagai amal. Makna perumpamaan disini menggambarkan keadaan seseorang yang sedekah tetapi disertai sifat riya, kaitannya dengan memperoleh pahala Allah seperti keadaan batu licin yang di atasnya terdapat tanah, ketika hujan lebat datang maka tanah itu akan hilang. Padahal hujan seharusnya menjadi sebab atas makmurnya sebuah kehidupan di bumi, ketika hujan menyirami tanah, maka tanah itu akan subur. Hijaunya tanaman menjadikan hiasan tersendiri atas keindahannya. Beda halnya apabila tanah itu berada di atas batu licin, maka tanah itu akan menjadi bersih manakala turun hujan deras dan menyiramnya. Keadaan ini menggambarkan suasana gersang karena tidak ditumbuhi tanaman. Ini merupakan keadaan seseorang ketika amalnya tidak didasari keikhlasan karena Allah, maka pahala Allah pun tidak akan sampai kepadanya. Ayat ini menjelaskan bahwa ukuran diterimanya amal seseorang tergantung kepada niat yang ikhlas karena Allah dari orang tersebut.

Pada ayat selanjutnya yakni Q.S. al-Baqarah (2): 265, Allah menggambarkan keadaan orang mukmin yang menyedekahkan hartanya untuk mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka yaitu, mereka membenarkan bahwa Allah akan membalas amal mereka itu dengan balasan yang memadai seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disirami hujan lebat, maka ia menghasilkan makanan dua kali lipat. Jika ia tidak tersirami hujan lebatpun maka oleh hujan gerimispun memadai. Ini menunjukkan bahwa amal orang mukmin tidak akan merugi selamanya karena Allah akan menerimanya dan memperbanyaknya. Tumbuh dan tidaknya inayah Allah selaras dengan derajat keikhlasan niat seseorang ketika beramal.

# Penulis adalah Mahasiswa Studi Tafsir PPs UIN SGD Bandung, Staf Pengajar Fak. Tarbiyah IAIC Tasikmalaya.

No comments:

Post a Comment

Haura Hikmah Muta'aaliyah

Add caption Haura Hikmah Muta'aaliyah  (Kado Terindah Bagi Kami) oleh: Alfin Khaeruddin Puad Haura Hikmah Muta'...