Tuesday, 21 March 2017

Haura Hikmah Muta'aaliyah

Add caption
Haura Hikmah Muta'aaliyah 
(Kado Terindah Bagi Kami)

oleh:

Alfin Khaeruddin Puad

Haura Hikmah Muta'aaliyah, itulah nama yang kami sematkan ketika seorang bayi perempuan terlahir di hari Jum'at tanggal 25 Januari 2013 M. bertepatan dengan tanggal 13 Rabi'ul awwal 1434 H. pukul 07.30 WIB. Nama yang merupakan do'a dan tentunya harapan baik bagi kami sebagai orang tuanya. 

Sebuah nama yang terinspirasi ketika saya (ayahnya) senang mengajar filsafat Islam di beberapa kampus di Tasikmalaya. Tepatnya ketika berkenalan dengan sosok filosof Persia Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra (979 H./1571 M.) atau Shard al-Muta’alihin. 

Hikmah Muta'aaliyah (Trancendent theoshopy) merupakan teori Mulla Sadra dalam berfilsafat, sejenis hikmah atau falsafah yang dilandasi oleh fondasi metafisika yang murni, yang diperoleh melalui intuisi intelektual, dan diformulasikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen yang rasional dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syari’at. teori ini didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: iluminasi intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional (‘aql atau istidlal ), dan agama (syari’ atau wahyu). Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: al-Quran dan hadis, argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), sehingga dikatakan paling tingginya hikmah.

Teori Hikmah Muta'aaliyah memadukan tiga macam metodologi berpikir, yaitu: 1). Bayani, 2). Burhani, dan 3). Irfani

Metodologi berpikir Bayani adalah sebuah model metodologi berfikir yang didasarkan atas teks. Teks sucilah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah tujuan dan arti kebenaran, sedangkan rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal bagi keamanan otoritas teks tersebut. Sedangkan metodologi berpikir Burhani adalah metodologi yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar runtutan nalar logika, bahkan dalam tahap tertentu, interpretasi teks hanya bisa diterima apabila tidak bertentangan dengan aturan logis.

Adapun Metodologi berpikir 'Irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan. Berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik 'irfani adalah bagian esoteris (batin) teks, karena itu, rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spiritual tersebut. 

Jadi, dengan penyematan nama Haura Hikmah Muta'aaliyah, diharapkan anak kami menjadi sosok perempuan cantik (haura/bidadari) yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan berakhlak mulia. Sosok seperti inilah yang diperlukan untuk menghadapi kehidupan dimasa sekarang dan masa yang akan datang. wallahu a'lam  

21 Maret 2017


Monday, 16 August 2010

Merdeka dari Belenggu Nafsu

Oleh:

ALFIN KHAERUDDIN PUAD
(Sisi Cikunten, 16 Agustus 2010)

Sungguh tidak terasa, 65 tahun sudah proklamasi kemerdekaan RI didengungkan oleh para pendahulu kita. Namun, apakah waktu yang tidak sebentar ini sudah mampu menginspirasi masyarakat untuk bisa berkarya dalam membangun dan mengembangkan dirinya, bangsa dan agamanya?. Atau justru masyarakat hanya mampu untuk mengenang jasa-jasa para pendahulunya sehingga tidak berani untuk mencoba berpikir kreatif dan melakukan terobosan-terobosan inovatif.

Peringatan HUT RI yang ke-65 di tahun 2010 ini sungguh merupakan anugerah Allah SWT yang teramat istimewa karena bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1431 H. Bulan yang penuh dengan kemesraan dan kehangatan untuk senantiasa "bercumbu" dengan-Nya lebih dekat. Moment untuk berupaya dan berusaha dalam memerdekakan diri dari belenggu nafsu pun penulis rasa sangat tepat untuk diangkat dalam sebuah wacana. Dengan kata lain, membumikan nilai-nilai puasa dalam pola hidup bermasyarakat merupakan harga mati yang sulit untuk ditawar lagi.



Potret Diri Manusia

Apabila menelusuri ayat-ayat al-Qur'an, kita akan menemukan manusia dengan sebutan Bani Adam sebanyak tujuh kali. Raghib al-Asfahany memaknai kata Bani sebagai keturunan yang dilahirkan. Dalam penjelasan ayat-ayat yang mengandung istilah Bani Adam, manusia diingatkan oleh Allah agar tidak tergoda oleh Syetan (Q.S. Al-A'raf: 26-27), mencegah makan dan minum yang berlebih-lebihan dan tata cara berpakaian yang pantas saat melaksanakan ibadah (Q.S. Al-A'raf: 31), anjuran bertaqwa dan mengadakan perbaikan (Q.S. Al-A'raf: 35), kesaksian manusia terhadap Tuhannya (Q.S. Al-A'raf: 172), dan peringatan agar manusia tidak terpedaya hingga menyembah Syetan (Q.S. Yasin: 60).

Membaca ulang ayat-ayat yang menggunakan kata Bani Adam, sepertinya kita diingatkan kembali kepada peran Nabi Adam saat pertama kali diciptakan. Ketika Nabi Adam akan diciptakan, para Malaikat mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan, dengan hadirnya manusia akan menjadi biang keladi kerusakan dan pertumpahan darah (Q.S. Al-Baqarah: 30). Hal ini menjadi nyata ketika Adam dan Hawa karena kekeliruannya, terjebak oleh hasutan Syetan sehingga oleh Allah keduanya dihukum dengan dikeluarkan dari surga (Q.S. Al-Baqarah: 30).


Setelah melihat dan merenungkan latar belakang kemunculan kata Bani Adam ini, tampaknya mengindikasikan bahwa manusia sebagai Bani Adam dalam menjalani proses hidup dan kehidupannya akan selalu bermasalah. Permasalahan ini muncul karena Bani Adam memiliki peluang untuk selalu digoda oleh Syetan. Untuk itu, Allah SWT dalam banyak ayat selalu mengingatkan kepada manusia agar berhati-hati terhadap godaan Syetan. Hal ini juga yang menunjukkan bahwa manusia dituntut untuk menjaga kemuliaan dirinya.


Merdeka dari belenggu nafsu akan mengantarkan manusia menjadi generasi terbaik dalam panggung peradaban dan sekaligus mengidentifikasikan bahwa manusia berbeda dengan binatang. Sehingga manusia yang menjalani hidupnya masih mengikuti hawa nafsu akan dan bisa lebih kejam dari binatang. Mampu mengendalikan nafsu merupakan cerminan baiknya aqidah yang diyakini dan ibadah yang diamalkan seseorang. Sebaliknya, apabila seseorang masih mengikui hawa nafsu dalam segala tindak tanduknya berarti ada indikasi buruk dari aqidah dan ibadahnya. Padahal mengendalikan diri dari hawa nafsu juga merupakan buah dari ibadah dalam hal ini ibadah puasa.


Hawa nafsu yang masih membelenggu akan tercermin dalam fenomena masyarakat seperti: saling menyalahkan, pungli, upaya pemutarbalikkan fakta, legalisasi perilaku menyimpang, pengrusakan lingkungan secara sengaja, dan dugaan korupsi – kolusi – nepotisme yang dilakukan manusia yang mengaku beragama. Semua ini didasari atas dorongan ketamakan akan kekuasaan, kerakusan akan harta dan keserakahan untuk mencari kemuliaan sendiri dengan cara menyalahgunakan kekuasaan.



Jangan Abaikan Nurani

Manusia pribadi terdiri dari kesatuan unsur cipta (akal), rasa dan karsa. Unsur cipta (akal) meliputi; pengamatan, ingatan, dan pikiran. Unsur rasa terdiri dari perasaan jasmani yang meliputi; sakit, enak, lapar, kenyang, dan perasaan rohani meliputi; perasaan keindahan, kesusilaan, keagamaan, sosial, harga diri, dan keilmuan. Adapun unsur karsa terdiri dari kemauan, cita-cita, keinginan, refleks, instink dan sebagainya.

Fungsi manusia terhadap diri pribadinya adalah memenuhi kebutuhan unsur-unsur tersebut secara menyeluruh. Namun dalam memenuhinya, harus dijaga jangan sampai terjadi saling bertentangan satu dengan lainnya. Karena pertentangan yang terjadi dalam diri pribadi manusia akan mengakibatkan stress, labil, dan tidak tenang. Apabila semua ini terjadi, maka manusia akan mencoba mencari jalan keluar untuk mengobati dirinya, dan kadang-kadang obat alternatifnya tidak sesuai dengan norma-norma agama (mengikuti hawa nafsu).


Mengikuti "suara hati", baik yang digambarkan dalam al-Qur'an dengan istilah qalb, fu`ad, lubb, sirr, ataupun `aql, merupakan solusi terbaik dalam mengendalikan keinginan nafsu karena semuanya berhubungan dengan kesadaran. Hati (qalb), yang memiliki potensi bolak-balik dan seringkali tidak konsisten: kadangkala merasa senang – susah, menerima – menolak membutuhkan cahaya Ilahi. Oleh karena itu disebut "hati nurani" atau hati yang bercahaya.


Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa hati merupakan acuan yang harus dikembangkan dalam pencapaian kehidupan rohani manusia. Bahkan ia menafsirkan hati sebagai esensi dari kemanusiaan itu sendiri, sehingga apabila hati nurani terus ditegakkan, maka kaca hati akan mencerminkan kecemerlangan, dan dengan demikian terbukalah sifat-sifat langit, kemudian terpantullah akhlak Allah.


Melalui dzikir kepada Allah, senantiasa memikirkan ciptaan-Nya, dan terhiasinya sifat-sifat positif dari akhlak-Nya, maka suara hati ini (kesadaran moral) pun mencapai apa yang dalam agama disebut “jiwa yang tenang” (nafs al-muthmainnah) yang membuka pintu bagi kedekatan kepada Allah. Sehingga hati menjadi tempat untuk mengingat Allah, yang akhirnya hati ini menjadi cahaya Allah.


Semoga peringatan HUT RI ke-65 di tahun ini yang bertepatan dengan datangnya bulan suci Ramadhan menjadi moment tepat untuk bersama sama memerdekakan diri pribadi dari belenggu nafsu yang terus mencengkram kehidupan rakyat Indonesia. Disamping dapat memunculkan optimisme dan sadar diri untuk terus belajar menghadapi setiap ujian dan cobaan yang datang silih berganti. Hanya dengan jalan itulah barangkali kita akan mampu keluar dari kesulitan.

Friday, 6 August 2010

MERDEKA DALAM BAYANG-BAYANG PENJAJAH

Oleh:

ALFIN KHAERUDDIN PUAD
(Pojok Cikunten, 08 Agustus 2010)


65 tahun sudah proklamasi kemerdekaan didengungkan oleh para pendahulu kita. Pada setiap tahunnya Hari Kemerdekaan ini selalu diperingati bahkan ditetapkan sebagai salah satu hari besar nasional. Namun permasalahannya adalah, apakah waktu yang relatif lama ini sudah mampu menginspirasi masyarakat untuk bisa berkarya dalam membangun dan mengembangkan dirinya, bangsa dan agamanya?. Atau justru masyarakat masih terlena dan hanya mampu untuk mengenang jasa-jasa para pendahulunya sedemikian rupa sehingga tidak berani untuk mencoba berpikir kreatif dan melakukan terobosan-terobosan yang inovatif.

Belum hilang rasa sakit ketika bangsa ini dijajah selama 3,5 abad oleh Belanda, kemudian disiksa oleh Jepang selama 3,5 tahun. Setelah merdeka rakyat Indonesia masih dikekang oleh kebijakan pemerintahan yang oleh sebagian orang dianggap "otoriter" selama puluhan tahun. Setelah bebas dari kekangan pemerintah ternyata bangsa Indonesia masih dijajah oleh kepentingan diri sendiri, terjelma dalam sikap gampang emosi, destruktif – anarkis, dan senang berselisih dengan saudara sendiri.

Jasa-jasa para pendahulu yang telah mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan ternyata belum mampu dibalas dengan mewujudkan keadaan masyarakat yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana dicita-citakan dalam pembukaan UUD 1945.

Akar Masalah
Mengikat keanekaragaman masyarakat Indonesia dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sekedar contoh; apabila seorang penganut agama Islam menyempitkan makna Islam hanya untuk orang muslimin saja, membatasi dalam kerjasama dan persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat, merasa kelompoknya yang paling benar dan berhak masuk sorga dan menganggap kelompok lainnya salah, akan mengganggu keharmonisan kehidupan bernegara.

Pandangan ekslusif terhadap negara Pancasila pun akan menjadi tantangan bagi terwujudnya cita-cita kemerdekaan versi UUD 1945. Betapa tidak, meskipun ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi kalau secara formal tidak dicantumkan berlakunya syariat Islam tetap dianggap sebagai negara sekuler, lawan dari negara theokrasi. Padahal akan lebih sekuler kalau tidak menempatkan Islam sebagai rahmatan lil alamin, kaffatan li al-nas, agama untuk semua manusia tanpa pandang etnis atau agama yang memperlihatkan bahwa Islam itu agama yang membawa nikmat berupa salam (perdamaian), rahmat (kasih sayang) dan barakah (pemanfaatan maksimal).


Dengan demikian, keanekaragaman penafsiran dalam menilai negara Pancasila berimplikasi terhadap pengamalan sila-silanya. Sikap ber-Ketuhanan belum mampu menciptakan manusia Indonesia yang dapat berlaku adil dan beradab. Rasa ber-Ketuhanan yang tidak total juga dapat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, menjadikan kebijakan penguasa yang kadangkala merugikan sebelah pihak, bahkan tidak bisa mewujudkan keadilan sosial secara merata.


Padahal, hidup di bawah aturan Tuhan akan membawa kita jauh dari sikap fanatik apalagi ekstrim. Karena, sikap ber-Ketuhanan (iman) berarti kontradiktif dengan sikap memaksa. Keimanan justru menumbuhkan sikap adil. Dengan kata lain, sikap ber-Ketuhanan (iman) melahirkan sikap yang selalu menyediakan ruang bagi pertimbangan akal sehat untuk membuat penilaian secara jujur bagi setiap permasalahan. Sikap ini penting untuk ditanam dan dipupuk kemudian dikembangkan dalam menyikapi kondisi plural sebuah bangsa. Sehingga hubungan dialogis, baik antar umat beragama maupun sesama umat dalam agama yang sama, bisa berjalan dengan baik.


Tindakan Nyata
Paling tidak ada tiga aspek yang merupakan anugerah Allah Swt. yang harus dibangun dan dikembangkan oleh manusia dalam rangka mengisi kemerdekaan diri, yaitu; tubuh, pikiran dan jiwa. Ketiga aspek inilah yang hemat penulis akan menentukan siap tidaknya manusia menghadapi segala macam rintangan hidup dan kehidupannya.

Pertama, tubuh. Sebelum dibentuk dan dikembangkan, terlebih dahulu tubuh harus dibersihkan. Cara membersihkannya adalah dengan memperhatikan kehalalan dan kandungan gizi dari makanan, minuman dan oksigen tersebut yang masuk ke dalam tubuh, tentunya dengan mementingkan polanya yang teratur. Hal ini sangat penting, karena dalam ajaran agama pun ditegaskan bahwa apa yang masuk ke dalam tubuh seseorang akan berimplikasi terhadap perilaku orang tersebut. Dengan kata lain, jika makanan atau minuman yang dikonsumsi itu jelek baik dari jenisnya maupun cara memperolehnya, maka perilakunya pun akan jelek pula.


Kedua, pikiran. Sebelum dibentuk dan dikembangkan, pikiran harus dibersihkan. Cara membersihkannya adalah dengan senantiasa berfikir dan berzdikir. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam Q.S. Ali Imran (30): 190-191. Berdzikir dengan kata lain selalu menggunakan kalimat positif dalam setiap kesempatan dan senantiasa berfikir tentang ciptaan Tuhan merupakan modal utama bagi manusia untuk memunculkan gagasan cemerlang, ide kreatif, dan terobosan inovatif.


Bisa dibayangkan kalau setiap orang di negeri ini dalam waktu satu menit melakukan satu hal positif (kebaikan) saja, maka dalam waktu satu hari apabila digabungkan akan meninvestasi sekitar 300 milyar kebaikan, dan ini sangat luar biasa. Harapannya, kalau hal ini benar-benar dilakukan akan dapat meminimalisir krisis sosial yang sedang terjadi saat ini. Hal terpenting dari kebiasaan berdzikir dan berpikir (memunculkan gagasan cemerlang, kreatif dan inovatif) akan membawa manusia untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan.


Ketiga, jiwa. Sebelum dibentuk dan dikembangkan, jiwa harus dibersihkan dari segala bentuk kesombongan dan kemalasan yang telah lama diwariskan syetan. Dalam hal ini, manusia harusnya mampu menangkap pesan Tuhan melalui rangkaian bencana berupa keterpurukan sosial yang dialami bangsa kita saat ini. Walaupun bencana merupakan bagian dari ketetapan Tuhan (Q.S. At-Taubah: 51), namun tidak berlebihan apabila memahami bencana sebagai bahasa teguran Tuhan pada manusia yang “lupa”.


Dalil teologis ini harusnya dimengerti oleh masyarakat supaya jangan sampai rangkaian malapetaka itu mengesankan negeri ini penuh dengan pelupa. Berlaku sombong dengan sengaja melupakan dan bermalas-malasan dengan enggan memikirkan langkah lanjut agar bencana serupa tidak terulang harus benar-benar disingkirkan dari jiwa masayarakat Indonesia.


Jika salah satu sebab musibah adalah kelalaian manusia, tentunya kita didorong untuk mencari tahu bagaimana agar malapetaka serupa tidak terulang lagi di masa depan. Setiap musibah, bencana atau kecelakaan yang terjadi harusnya memotivasi kita untuk mau belajar dari apa yang sedang atau telah terjadi, guna mendapat terang bagi apa yang kita lakukan selanjutnya.


Semoga peringatan HUT RI ke-65 di tahun ini tidak membuat rakyat Indonesia berkecil hati, melainkan mendorongnya untuk “sadar diri” dan terus belajar demi menghindari kemungkinan datangnya musibah atau bencana serupa di masa depan. Hanya dengan jalan itulah barangkali kita akan mampu keluar dari kesulitan.


•Penulis selalu ingin belajar dan berkarya.

Sunday, 18 October 2009

PAUD, Antara Belajar dan Bermain

Oleh:

Alfin Khaeruddin Puad



Permudahlah mereka dan jangan mempersulit, gembirakanlah mereka dan janganlah berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka menjauhi kamu. (HR. Bukhari)

Undang Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (lihat pasal 1 butir 14).

Membina anak yang usianya di bawah enam tahun tentunya memerlukan kecakapan yang khusus. Betapa tidak, anak-anak yang tergolong pada tingkatan usia tersebut sedang asyik-asyiknya bermain, dan itu memang dunianya. Bahkan bagi sebagian anak, apabila mereka dipanggil oleh orang tuanya untuk sekedar makan atau mandi sekalipun, susahnya beak karep (sangat susah). Dengan demikian, apabila ada lembaga pendidikan yang mengelola anak-anak apapun bentuknya yang terlalu menekankan kemampuan belajar (baca, tulis, hitung) di tingkatan usia tersebut, secara tidak sadar mereka sedang merampas dunianya.

Dunia anak adalah dunia bermain. Bermain merupakan metode belajar yang efektif. Anak-anak belajar dari segala kegiatan yang mereka lakukan. Intinya adalah bagaimana mengubah kegiatan bermain menjadi pengalaman belajar. Diakui atau tidak, ketika anak merasa senang dan nyaman, ia akan mampu belajar dengan baik.

Sekedar contoh, bagi anak-anak yang sedang belajar menghafal kata-kata yang berlawanan seperti kata maju – mundur, seorang tutor dapat melakukannya sambil memainkan ayunan, belajar kata atas – bawah dapat dilakukan dengan memantul-mantulkan bola dan mengucapkan "jika bola dilempar ke atas pasti akan jatuh ke bawah", belajar kata tinggi – rendah dengan berdiri kemudian berjongkok sambil menyanyikan lagu-lagu yang menyenangkan. Bagi anak-anak yang sedang menghafal anggota badan, seorang tutor dapat menanyakannya melalui permainan tebak-tebakan. Siapa yang lebih dulu menjawab dapat ditukar dengan makanan kesukaannya. Sasaran yang dibidik di sini bukan semata-mata pada permainannya, namun tingkat konsentrasi anak dan kegembiraan yang menyertainya.


Kemampuan Dasar Anak

Sebenarnya pada saat anak dilahirkan ke dunia, ia telah membawa potensi dan potensi bawaan inilah yang dalam istilah Islam lebih dikenal sebagai fitrah. Dengan kata lain, fitrah dapat pula dipahami sebagai kemampuan dasar, kecenderungan-kecenderungan yang murni bagi setiap individu, lahir dalam bentuk sederhana dan sangat terbatas kemudian saling mempengaruhi dalam dan oleh lingkungannya sehingga tumbuh dan berkembang menjadi baik.

Berdasarkan teori tersebut, seorang anak perlu diberi banyak rangsangan pada masa kecil khususnya empat tahun pertama agar ia belajar dan menyerap banyak hal. Tahun-tahun pertama ini juga merupakan kesempatan yang ideal bagi anak-anak untuk belajar mengenal lebih dari satu bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa saat terbaik untuk mengembangkan kemampuan belajar adalah sebelum masuk jenjang pendidikan dasar, karena sebagian besar jalur penting di otak dibentuk pada tahun-tahun awal tersebut. Dalam hal ini, orang tua memegang peranan sangat penting dalam meletakkan fondasi bagi pengembangan kemampuan belajar anak.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika sejak 14 abad yang lalu Muhammamad Rasulullah Saw. dalam hal ini posisinya sebagai pendidik sukses (muaddib) telah bersabda bahwa: tiada satu pemberian pun yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya, selain pendidikan yang baik. (HR. Tirmidzi)

Kata al-ta’dib diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Maka sebagai konsekuensi logisnya, apabila ada orang tua atau tutor dalam sebuah lembaga pendidikan yang menjuluki anaknya atau anak didiknya sebagai si bodoh, maka kemungkinan besar ia akan menjadi bodoh. Sebutan-sebutan yang kurang baik (menghina) kepada anak-anak, disamping menciptakan suasana pendidikan yang tidak humanis juga akan berdampak fatal dan dapat mengganggu perkembangan psikologisnya.


Beri Rangsangan Belajar

Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar berhubungan dengan buku-buku, melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu pengalaman. Target belajar adalah perubahan tingkah laku. Dengan belajar, seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Belajar tidak hanya dipahami sebatas pengetahuan yang bersifat konseptual, melainkan juga hal-hal yang menyangkut keterampilan serta sikap pribadi yang mempengaruhi perilaku seseorang.

Rangsanglah anak-anak dengan memperbanyak latihan fisik yang menggunakan tangan dan kaki seperti merangkak, memanjat, dsb. Sewaktu-waktu, seorang tutor perlu memberi kesempatan pada anak-anak binaannya untuk belajar dari kesalahah, yaitu melalui trial and error (coba – salah). Anak-anak biasanya suka pada tantangan, bereksperimen, mencipta yang baru, dan mencari tahu cara bekerjanya sesuatu. Oleh karenanya, sangat penting bagi seorang tutor untuk memperluas dunia anak-anak, tidak terbatas hanya di dalam ruangan saja.

Dalam kesempatan lain, anak-anak juga sering bertanya tentang hal-hal yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh mereka. Kaitannya dengan hal ini dibutuhkan kesabaran seorang tutor untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan mereka. Kurang bijak jika seorang tutor menanggapi pertanyaan anak-anak dengan mengatakan: "Hidep teu kenging seueur tataros, engke oge upami tos dewasa mah bakal terang nyalira". Apabila hal ini sampai terjadi, sebenarnya seorang tutor sedang mematikan rasa ingin tahu anak-anak. Padahal rasa ingin tahu ini merupakan motivasi yang paling penting dalam proses belajar.

Faktor emosi sangat penting dalam proses pendidikan. Ketika suatu pelajaran melibatkan emosi positif yang kuat, umumnya pelajaran tersebut akan terekam dengan kuat dalam ingatan. Dengan demikian, dibutuhkan kreatifitas seorang tutor untuk menciptakan permainan-permainan yang dapat menjadi wadah dan sarana anak-anak untuk belajar, misalnya melalui cerita, warna, humor segar, dan lain-lain.


# Penulis adalah pengelola PAUD Assalam Yayasan Pendidikan Widya Utami Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya.

Perumpamaan Orang yang Bersedekah

Oleh:
Alfin Khaeruddin Puad

Al-Qur’an membuat perumpamaan bagi orang yang bersedekah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Hal ini karena begitu banyaknya pahala yang diterima oleh orang yang bersedekah. Perumpamaan mereka telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya Q.S al-Baqarah (2): 261-265. Redaksi ayatnya merupakan perintah kepada orang yang beriman agar terdorong hatinya untuk bersedekah di jalan Allah. Maka pertama dibuatlah perumpamaan yang mengesankan pelipat gandaan ganjaran sedekah disisi Allah: “satu sampai tujuh ratus kali lipat”, kadang-kadang ditambah lagi dengan izin-Nya. Kedua, perumpamaan dibuat untuk menegaskan larangan bersedekah yang didasari oleh sifat riya atau tidak karena Allah, melarang bersedekah dengan menyebut-nyebut serta menyakiti si penerima. Kemudian menyuruh menyedekahkan harta yang bersih dan menentukan kepada siapa harta itu diberikan.

Keseluruhan ayat di atas menurut ‘Allamah al-Tabataba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an Juz II halaman 387, mengajak untuk bersedekah dengan syarat sebagai berikut: Pertama, tujuannya semata-mata karena Allah bukan karena manusia. Kedua, sedekahnya tidak disertai dengan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan si penerima. Ketiga, harta yang disedekahkan harus bersih. Keempat, objek yang dijadikan sasaran pemberian sedekah adalah orang-orang miskin yang membutuhkan harta untuk digunakan di jalan Allah. Kelima, hartanya dijadikan salah satu jalan untuk memperoleh keutamaan baik di dunia maupun di akhirat.

Sedekah merupakan salah satu amalan yang paling agung dan penting dalam Islam. Mengeluarkannya menjadi wajib jika bentuknya sebagai zakat fitrah, kifarat harta dan fidyah. Namun ada juga yang kedudukannya hanya berupa anjuran seperti waqaf, wasiyat dan hibah. Sedekah dapat menjadikan pelakunya sadar akan keberadaan saudara mereka yang sangat membutuhkan uluran tangannya karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini akan menjadi dorongan bagi pelaku sedekah untuk selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Lebih jauhnya pelaku sedekah akan menghindari sikap berlebih-lebihan dalam menggunakan hartanya.

Di masa sekarang, menjadi semakin jelas bahwa ketidak perdulian kaum kaya terhadap penderitaan kaum miskin merupakan bahaya besar yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat dan kaum kaya itu sendiri yang akan menjadi korban ancaman ini. Empat belas abad yang lalu, Islam talah mengantisipasi bahaya ini dan memerintahkan kaum kaya untuk memberikan sebagian hartanya kepada kaum miskin setiap tahun. Hal ini akan dinilai sebagai sebuah kebaikan jika harta yang diberikannya itu merupakan harta yang sangat kita sayangi. Tentunya disamping untuk menghilangkan beban kebutuhan kaum miskin, perbuatan ini pun dikerjakan semata-mata demi mencapai keridhaan Allah Swt. Firman dalam Q.S. Ali Imran (3): 92 yang artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Ketentraman hati dan perasaan ingin selalu meningkatkan kualitas hidup akan mengiringi langkah orang yang sedekah. Ini terjadi karena al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa esensi agama adalah meningkatkan derajat manusia agar menjadi mulia dalam kehidupannya. Ketersusunan al-Qur’an menjadi cermin kebahagiaan manusia yang senantiasa berprilaku dengan akhlak mulia, hidup tentram mensyukuri nikmat Allah serta menjauhkan diri dari segala macam sifat tercela.

Sedekah di jalan Allah adalah sedekah yang dikerjakan semata-mata mengharap ridha Allah. Keadaan ini digambarkan seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Ini merupakan makna zahir yang memberikan pengertian tidak berlakunya perumpamaan tersebut bagi mereka yang mengeluarkan sedekah tidak di jalan Allah. Pada hakikatnya perumpamaan itu merupakan cerita nyata atau suatu ketetapan yang terlihat samar, namun karena digambarkan oleh jalan lain, maka jiwa seseorang mendapatkan kemudahan dalam hal memahami maknanya secara sempurna. Allah membuat perumpamaan semata-mata untuk menunjukkan kreatifitas-Nya dalam merangkai ungkapan yang tersebar dalam al-Qur’an. Perumpamaan orang yang sedekah dalam Q.S. al-Baqarah (2): 261 merupakan sebuah ketentuan mutlak Allah yang dituangkan dengan ungkapan penuh imajinasi.

Sedekah merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial, membantu orang yang sedang membutuhkan, menolong fakir miskin dan sekaligus menghilangkan sifat rakus, egois dan materialistis yang bercokol di dalam jiwa. Tentu saja sedekah yang dilakukan itu harus didasari keikhlasan tanpa mengharapkan imbalan apapun, juga harapan-harapan lain yang disandarkan kepada selain Allah. Manusia harus meyakini bahwa karunia Allah itu Maha Luas dan banyak, lebih banyak daripada makhluk-Nya, sehingga pelipat gandaan pahala sedekah bagi yang dikehendaki-Nya walaupun sampai 700 lipat tidak berarti apa-apa bagi-Nya. Pelipat gandaan pahala merupakan tujuan akhir yang ditunjukkan oleh ayat ini, maksudnya ungkapannya mempunyai tujuan untuk sebuah pembenaran.

Allah Swt. memuji orang-orang yang menyedekahkan hartanya di jalan Allah, lalu tidak mengiringi kebaikan dan sedekah yang telah mereka berikan itu dengan menyebut-nyebut pemberian mereka, tidak mengatakannya kepada siapapun dan tidak mengungkit-ungkit baik dengan perkataan maupun perbuatan. Allah menjanjikan jaminan pahala mengenai apa yang telah diperbuatnya. Tidak ada kekhawatiran atas mereka dalam menghadapi berbagai macam bencana pada hari kiamat dan tidak pula mersedih hati atas kemilaunya kehidupan dunia yang mereka tinggalkan.

Pada ayat selanjutnya yakni Q.S al-Baqarah (2): 264, Allah memberikan perumpamaan sedekahnya orang riya yang tampak seperti bersedekah karena Allah padahal dia bermaksud meraih pujian orang serta tujuan-tujuan duniawi lainnya. Perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah kemudian batu itu ditimpa hujan lebat lalu menjadilah ia bersih, halus dan kering tidak tersisa tanah sedikitpun di atasnya. Demikian pula halnya dengan amal-amal orang riya, semuanya lenyap di sisi Allah, walaupun tampak oleh dirinya sebagai amal. Makna perumpamaan disini menggambarkan keadaan seseorang yang sedekah tetapi disertai sifat riya, kaitannya dengan memperoleh pahala Allah seperti keadaan batu licin yang di atasnya terdapat tanah, ketika hujan lebat datang maka tanah itu akan hilang. Padahal hujan seharusnya menjadi sebab atas makmurnya sebuah kehidupan di bumi, ketika hujan menyirami tanah, maka tanah itu akan subur. Hijaunya tanaman menjadikan hiasan tersendiri atas keindahannya. Beda halnya apabila tanah itu berada di atas batu licin, maka tanah itu akan menjadi bersih manakala turun hujan deras dan menyiramnya. Keadaan ini menggambarkan suasana gersang karena tidak ditumbuhi tanaman. Ini merupakan keadaan seseorang ketika amalnya tidak didasari keikhlasan karena Allah, maka pahala Allah pun tidak akan sampai kepadanya. Ayat ini menjelaskan bahwa ukuran diterimanya amal seseorang tergantung kepada niat yang ikhlas karena Allah dari orang tersebut.

Pada ayat selanjutnya yakni Q.S. al-Baqarah (2): 265, Allah menggambarkan keadaan orang mukmin yang menyedekahkan hartanya untuk mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka yaitu, mereka membenarkan bahwa Allah akan membalas amal mereka itu dengan balasan yang memadai seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disirami hujan lebat, maka ia menghasilkan makanan dua kali lipat. Jika ia tidak tersirami hujan lebatpun maka oleh hujan gerimispun memadai. Ini menunjukkan bahwa amal orang mukmin tidak akan merugi selamanya karena Allah akan menerimanya dan memperbanyaknya. Tumbuh dan tidaknya inayah Allah selaras dengan derajat keikhlasan niat seseorang ketika beramal.

# Penulis adalah Mahasiswa Studi Tafsir PPs UIN SGD Bandung, Staf Pengajar Fak. Tarbiyah IAIC Tasikmalaya.

Thursday, 15 October 2009

Hidup Manusia, antara Sandiwara & Nyata

Oleh:
Alfin Khaeruddin Puad
(Pojok Cikunten, 14 Oktober 2009)

Walaupun kehidupan di dunia ini hanya merupakan permainan atau sebuah panggung sandiwara yang tidak menafikan besarnya peran seorang sutradara di belakang layar, namun pementasan sandiwara tersebut tidak akan pernah sukses jika tidak dimainkan oleh aktor yang profesional. Profesionalitas dalam hal apapun sedemikian rupa tidak akan terwujud tanpa adanya latihan yang serius, sehingga paling tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai sasaran yang dikehendaki. Untuk sebuah pementasan sandiwara yang bagus, seorang aktor harus senantiasa mengikuti skenario yang telah disiapkan oleh sutradara.

Melihat sedemikian pentingnya unsur profesionalitas dalam sebuah pementasan sandiwara, proses hidup dan kehidupan manusia pun yang bukan sekedar sandiwara harus dijalani dengan lebih profesional agar dirinya dapat menemukan makna hidup yang sempurna. Walaupun kesempurnaan itu tidak akan pernah tercapai, namun paling tidak manusia harus bisa membuktikan kesempurnaan penciptaan atas dirinya apabila dibandingkan dengan makhluk lain. Ia dianugerahi akal untuk digunakan sesuai fungsinya.

Manusia diberi kesempatan untuk selalu belajar demi mewujudkan tujuan hidupnya. Perlu diketahui bahwa penggunaan akal dalam mencapai sebuah keinginan tidak bisa bekerja begitu saja tanpa disertai bimbingan dan arahan hati nurani. Boleh jadi, apabila akal dibiarkan semaunya bekerja, ia akan memanfaatkan kecerdikannya untuk sebuah perbuatan yang negatif, karena pengaruh nafsu lebih dominan. Namun sebaliknya, jika hati nurani terus membimbing dan mengarahkan peran kerja akal, maka hal-hal positif yang selalu tercermin, karena selamanya hati nurani tidak akan pernah berdusta.

Wednesday, 14 October 2009

Sikap Tawakkal, Sepenting Apakah...?

Oleh:

Alfin Khaeruddin Puad
(Pojok Cikunten, 14 Oktober 2009)

Tawakkal merupakan suatu proses bagaimana manusia dapat mengikatkan hatinya kepada Allah Swt. dari segala urusannya. Pekerjaan, usaha dan hasilnya merupakan suatu rangkaian kehidupan yang tidak mungkin lepas dari aktifitas manusia sehari-hari. Apakah berusaha untuk mencari suatu pekerjaan ataukah berusaha meningkatkan hasil dari suatu pekerjaan yang lebih utama?. Keduanya sama-sama harus dijadikan prioritas utama dalam pelaksanaannya, karena boleh jadi hasil maksimal suatu pekerjaan seseorang tergantung pada usaha yang dilakukan orang tersebut, dengan kata lain semakin banyak usaha yang dilakukan seseorang maka akan semakin banyak pula peluang hasil yang akan diperolehnya, begitu pula sebaliknya semakin sedikit usaha yang dilakukan seseorang maka peluang hasil yang akan diperolehnya pun akan sebatas usahanya.

Pernyataan di atas dapat dibenarkan dan dapat pula disalahkan, karena dalam kenyataannya asumsi itu tidak mutlak benar dan tidak mutlak salah. Kadang kala dengan usaha yang biasa-biasa saja, seseorang dapat memperoleh hasil yang lebih dari cukup, begitu pula tidak sedikit orang yang semaksimal mungkin berusaha tapi hasilnya malah mengecawakan. Melihat kenyataan di atas, dimanakah solusi yang seharusnya dijadikan standar prioritas oleh manusia dalam menjalankan proses hidup dan kehidupannya?. Dalam hal ini peran akal yang terdapat pada diri manusia sedikitpun tidak dapat menerima misteri hidup dan kehidupan yang sebenarnya. Hal ini pula yang lambat laun akan mengantarkan manusia kepada keadaan yang memperlihatkan betapa labilnya jiwa manusia atau lebih dikenal dengan sebutan putus asa. Di benak mereka tidak ada lagi secercah harapan yang dapat merubah keaadaannya menjadi manusia utuh yang mampu memfungsikan semua organ yang ada dalam tubuhnya dengan baik.

Manusia hanya mampu merencanakan dan berusaha memperoleh sesuatu tapi Tuhan yang menentukan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan manusia sangatlah terbatas baik oleh ruang maupun oleh waktu, kenyataan ini menambah keyakinan kita bahwa ada Dzat yang maha Mampu untuk melakuakn semuanya dan kebanyakan manusia belum menyadari sehingga mereka mudah putus asa. Padahal, mudah putus asa itu menunjukkan bahwa seseorang belum berhak disebut manusia, dimana manusia itu seharusnya tegar dan selalu siaga menghadapi cobaan yang datang kapanpun dan dimanapun ia berada. Karena pada hakikatnya setiap cobaan baik yang berwujud kesenangan maupun yang berwujud kesedihan datang dari Tuhan dan pasti membuahkan pelajaran. Manusia jangan pernah menyalahkan Tuhan, tetapi seharusnya sadar diri mengapa hal itu terjadi dan dimana letak kesalahannya sehingga mengakibatkan hal itu?. Dengan sikap seperti ini, manusia akan senantiasa bersabar dan bersyukur dikala menghadapi cobaan. Sikap itulah yang sebenarnya menjadi bukti nyata bahwa manusia merupakan hamba Tuhan.

Lika liku yang menyertai hidup dan kehidupan manusia sagatlah beragam, mulai dari godaan, cobaan maupun anugerah. Kehati-hatian untuk menentukan sikap sangatlah penting, karena sifat baik dan buruk akan selalu mewarnai jiwa manusia kapanpun dan dimanapun ia berada. Kadang kala kemauan dan kemampuan yang dimiliki manusia tidaklah menemukan titik keseimbangan, padahal jikalau kita bersikap bijak, tentu akan mendahulukan kemampuan daripada mengejar-ngejar kemauan yang belum tentu tercapai. Manusia sadar bahwa dirinya dicipta Tuhan dengan sebaik-baik penciptaan, namun hal ini seolah-olah membuat terlena dan terus terbuai oleh segala kelebihan yang diberikan Tuhan kepadanya. Tidak jarang manusia lupa daratan (lali kana purwadaksina), sehingga Tuhan pun tidak segan-segan memutar balikkan posisinya dari yang semula mulia menjadi hina sehina-hinanya. Ketahuilah bahwa garis pembatas antara baik dan buruk sangatlah tipis. Semua adalah pilihan yang masing-masing memiliki konsekuensi logis. Baik buruknya pilihan sikap manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan sedikitpun tidak akan pernah mempengaruhi kemuliaan Tuhan.

Keberadaan manusia di dunia ini “Lain palid ku cikiih lain datang ku cileuncang”, artinya tekad dan tujuan hidupnya harus jelas. Kejelasan tujuan akan menentukan kemana manusia harus melangkah, tentunya hal ini akan meminimalisir segala macam rintangan yang pada dasarnya muncul dari ketidak jelasan tujuan hidup. Yakinilah bahwa tekad (niat) baik kita akan menentukan hasil yang baik pula. Jika kita menanam cabai tentunya dikala panen akan memetik cabai, ini membuktikan bahwa apa yang kita tanamkan dalam diri kita kemudian dipupuk oleh rasa tanggung jawab dan penuh kepasrahan kepada Tuhan dikala menjalaninya pasti akan menghasilkan buahnya sesuai apa yang kita harapkan. Tawakkal kepada Tuhan dalam menjalani hidup dan kehidupan bukan berarti melupakan proses yang menyertainya, namun kerja keras dan ketabahan kitalah yang memiliki andil besar dalam menentukan sebuah tujuan. Teringat sebuah pribahasa sunda yang memiliki makna filosofis tinggi, yaitu: “Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih”. Artinya manusia harus sesantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dan kehidupannya.

Sikap malas, perasaan cemas, khawatir, sedih, takut, tidak percaya diri, putus asa, akan selalu mewarnai usaha manusia, ini merupakan penyakit bawaan yang lambat laun akan menghilangkan cahaya Tuhan dalam diri manusia. Jikalau manusia sudah tidak dinaungi cahaya Tuhan, maka malapetakalah yang akan menjadi sahabatnya. Padahal malapetaka terbesar pada diri manusia adalah hilangnya semangat dan kemauan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Tuhan sendiri telah menegaskan dalam firmannya Q.S. al-Syu’ara (26): 80 “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”. Maksudnya semua penyakit yang terdapat dalam diri manusia akan hilang dengan sendirinya tatkala manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya senantiasa merasa diawasi oleh Tuhan, dan ini merupakan kunci utama dari sebuah kehidupan manusia. Akhirnya sesulit dan seberat apapun usaha kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini, niscaya tidak akan pernah dianggap berat andaikata kepasrahan diri kepada Tuhan telah tertanam. Itulah “Dihin pinasti anyar pinanggih”, artinya apapun yang terjadi semuanya berjalan atas kehendak Tuhan.

Alfin Khaeruddin Puad, sampai tulisan ini diluncurkan masih nyantri di pondok "KEHIDUPAN".

Haura Hikmah Muta'aaliyah

Add caption Haura Hikmah Muta'aaliyah  (Kado Terindah Bagi Kami) oleh: Alfin Khaeruddin Puad Haura Hikmah Muta'...